Mengembangkan Potensi Kebahasaan dengan Mengurai Kebijakan Berbahasa Negara Tetangga
- Kategori : Berita Utama
- Dibaca : 0 Kali
Jakarta, 9 Desember 2020 --- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus mendukung Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Regional Center for Quality Improvement for Teachers and Education Personnel (QITEP) in Language (SEAQIL) dalam mengembangkan potensi kebahasaan di Indonesia. Kebijakan pemajuan pendidikan bahasa merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan nasional suatu negara.
Baru-baru ini SEAQIL menyelenggarakan seminar regional bertajuk “Language Policy and Language Education” secara daring pada 8 – 9 Desember 2020. SEAQIL sendiri merupakan kerja sama negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dalam bidang bahasa dan berkantor di Indonesia. Direktur SEAQIL, Luh Anik Mayani meyakini, paparan para ahli dapat memperdalam pengetahuan peserta mengenai kebijakan bahasa dan kaitannya dengan pendidikan bahasa di kawasan Asia Tenggara.
“Semoga diskusi ini bisa bermanfaat, butuh pertimbangan matang dari tiap negara tentang peran dan fungsi dari setiap pilihan bahasa dalam pendidikan,” kata Anik (9/12).
Bahasa merupakan sarana penyampai pengetahuan dan medium pembelajaran. Penguasaan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris merupakan tuntutan kompetisi global yang semakin pesat. Dan di dalam seminar ini disadari bahwa sebagian besar negara-negara ASEAN tetap memprioritaskan Bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang harus dikuasai para peserta didik agar mampu bersaing di tingkat dunia. Namun di sisi lain, ada tantangan untuk tetap menjaga warisan bahasa nasional dan bahasa daerah.
Guru Ahli Bahasa Inggris dari English Language Institute of Singapore, Elaine Yeo, pada hari kedua webinar ini menyampaikan bahwa di Singapura terdapat empat bahasa utama dalam atmosfer kemasyarakatan. “Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, Bahasa Inggris sebagai lingua franca dan bahasa utama yang dominan, Bahasa Mandarin yang digunakan oleh warga Singapura keturunan Cina, dan Bahasa Tamil yang digunakan luas oleh warga Singapura keturunan India. Bahasa Inggris adalah bahasa yang digunakan di sekolah dan mata pelajaran di jenjang dasar dan menengah,” jelas Elaine.
Kebijakan Singapura, menurut Elaine, adalah pendidikan dua bahasa (bilingual), di mana para peserta didik disiapkan untuk berkompetisi dalam ekonomi global sambil tetap mempertahankan warisan kebudayaan yang kaya. “Jumlah warga yang cakap menulis dan membaca dalam dua bahasa ada 73% di 2015. Jumlah ini naik, dari 71% di 2010 menurut General Household Survei Singapura 2015,” jelas Elaine.
“Angka literasi penduduk di atas 15 tahun di Singapura juga tinggi, naik dari 92,3% pada 1999 menjadi 97,5% di 2019 menurut Departemen Statistik Singapura. Kami berusaha menyikapi tuntutan keterampilan bahasa dan komunikasi, di mana pertumbuhan ekonomi yang knowledge-based dan industri jasa makin berkembang. Kemampuan berbahasa Inggris sangat penting dalam dunia yang makin kompetitif ini. Karena itulah kami mempersiapkan betul anak-anak kami,” tambah Elaine.
Asisten Profesor dan Wakil Dekan Fakultas Humaniora dan Ilmu Sosial, Universitas Chulalongkorn University, Thailand, Nirada Chitraka mengatakan bahwa di Thailand yang umum digunakan adalah bahasa Thailand, Tochew (generasi tua Cina Thailand), Bahasa Hindi/ Punjabi (generasi tua India Thailand), dan Bahasa Jawi (Jawa, Muslim Thailand Selatan). “Namun, ada 14 bahasa minoritas yang terancam punah, dapat dikatakan ini karena pemakaian Bahasa Thailand Standar juga,” tutur Nirada.
Seperti Singapura, Thailand memberlakukan pengajaran bilingual pada para peserta didik, yaitu Bahasa Thailand dan Bahasa Inggris. “Pengajaran Bahasa Thailand Standar adalah mata pelajaran wajib jenjang dasar dan menengah. Kami menekankan keterampilan berkomunikasi, linguistik, dan sastra bagi anak-anak,” kata Nirada.
Berbeda dengan dua negara di atas, Undersecretary Department of Education Filipina, Tonisito M.C. Umali menjelaskan bahwa pemerintah Filipina, melalui Departemen Pendidikan tengah mengkaji dan berusaha meningkatkan kebijakan terkait bahasa menggunakan bukti-bukti ilmiah. Sebab, banyaknya laporan penurunan drastis dalam literasi dan kemampuan berbahasa secara umum masyarakat Filipina.
“Selain itu, kami tengah mengusulkan agar pengaturan periode pengajaran Bahasa Filipina dan Inggris diubah agar lebih tepat sesuai dengan kebutuhan peserta didik tiap jenjang,” kata Tonisito. Bahasa Filipina dan Bahasa Inggris, jelas Tonisito, dipakai Negara Filipina sebagai sarana pengajaran dan pembelajaran (medium of teaching and learning/ MOTL).
Penasehat Menteri Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Timor Leste, Gemito de Jesus memaparkan bahwa pada 1999 hingga 2008, kurikulum pendidikan di Timor Leste masih ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa pengajaran masih dalam Bahasa Indonesia. Kemudian, Timor Leste mengeluarkan Undang-undang Pendidikan Dasar, di mana Bahasa Tetum dan Portugis dasar ditetapkan sebagai Language of Instruction (LoI) atau bahasa pengajaran dalam literasi pendidikan formal. Setelahnya, Bahasa Indonesia dan Inggris dikenal sebagai bahasa internasional.
“Namun, tantangannya adalah banyak siswa kesulitan menguasai kurikulum karena masih belum memahami Bahasa Portugis, jadi ini memengaruhi kualitas pendidikan dari PAUD hingga universitas. Sebab, masyarakat Timor Leste mayoritas masih menggunakan bahasa ibu atau Bahasa Tetum. Maka, kami tengah berupaya mengatasi tantangan ini,” kata Gemito.
Pemerintah Timor Leste, menurut Gemito, juga mengembangkan kemitraan dengan Portugal untuk pembelajaran Bahasa Portugal, baik bagi guru dan peserta didik. “Kami juga memiliki lembaga pelatihan nasional untuk guru dan ahli pendidikan, yaitu Instituto Nacional de Formacao de Codentes e Profissionais da Educacao, untuk melatih dan meningkatkan kapasitas guru,” terang Gemito.
Kepala Divisi Investasi, Departemen Kerja sama Internasional, Kementerian Pendidikan dan Pelatihan Vietnam, Tran Thi Phuong mengakui Bahasa Vietnam merupakan bahasa yang dipakai dalam kurikulum nasional, ditambah beberapa bahasa asing lain seperti Bahasa Perancis, Rusia, Jerman, Cina, Jepang, dan Korea. “Tapi, terbanyak memang pembelajar Bahasa Inggris yang berjumlah 99%,” jelas Tran. Walaupun demikian, bahasa nasional resmi tetaplah Bahasa Vietnam.
Tran juga menyampaikan tren yang makin berkembang di Vietnam di mana makin banyak sekolah mengajarkan Bahasa Inggris dalam kegiatan ekstrakurikuler. “Bahkan di banyak sekolah, matematika dan sains juga diajarkan memakai Bahasa Inggris,” jelas Tran.
“Kini, Pemerintah Vietnam tengah menggiatkan kerangka kerja kebijakan Proyek Nasional Bahasa Asing, dengan merancang kebijakan sertifikasi kemahiran bahasa asing bagi seluruh pembelajar untuk memenuhi tujuan pembangunan nasional Vietnam pada 2025,” tutup Tran. (Denty A./Aline R.)